Friday, September 3, 2010

Konsep Filosofis Pancasila

Seandainya waktu bisa di putar kembali, atau setidaknya rekaman video rapat-rapat BPUPKI dan PPKI tahun 1945 itu ada, kita pastinya ingin menyaksikan bersama bagaimana pendiri-pendiri bangsa (founding fathers) ini berdebat dan berdiskusi menentukan dasar negara ini. Menyaksikan bagaimana beliau-beliau berjuang dan berusaha menentukan dasar negara dengan menanggalkan kepentingan-kepentingan pribadi, kepentingan-kepentingan partai, ras, etnis dan bahkan “kepentingan” agamanya. Serta melihat bagaimana mereka membawa detik-detik yang menentukan bagi bangsa ini.
Sudah menjadi ketetapan takdir waktu tak akan bisa di ulang dan rekaman video memang tak pernah dibuat, ia hanya meninggalkan lembaran-lembaran sejarah yang harus kita pelajari bersama, yang harus kita jadikan pelajaran berharga. Pengandaian-pengandaian ini perlu kita lontarkan karena sampai sekarang masih ada saja orang yang menginginkan dibentuknya Negara Islam atau lebih dari itu menginginkan terbentuknya Kekhalifahan Islam (Islamic Caliphate) yang melampaui batas-batas negara-bangsa. Dan lagi, masih banyak yang menganggap bahwa pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta—menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya-- itu adalah sebuah kekalahan besar bagi umat Islam.
Keinginan-keinginan dan anggapan-anggapan itu akan tertepiskan dari benak kita jika kita benar-benar memahami sejarah, jika kita benar-benar menggunakan hati nurani dan menghilangkan egoisme pribadi. Kita akan segera sadar bahwa bapak-bapak bangsa ini menentukan dasar negara ini dengan nurani, dengan jiwa besar dan jiwa bijaksana. Mereka bukanlah orang bodoh yang tidak tahu tentang Islam, atau mereka bukan orang Islam yang tidak mencintai Islam, akan tetapi sebaliknya. Yang mereka pikirkan tidak hanya kepentingan Islam, tapi kepentingan bangsa. Mereka memikirkan dampak yang akan terjadi jika syariat Islam benar-benar diberlakukan di negara yang plural akan agama, ras, dan kelompok seperti Indonesia ini.
Apalagi secara keilmuan mereka pasti tahu bahwa konsep Negara Islam tidak pernah jelas dalam dunia Islam. Oleh karenanya pemikir-pemikir Islam sendiri sampai saat ini tidak sepakat mengenai seperti apakah bentuk Negara Islam itu? Tidak ada nash yang jelas akan hal ini.
Bisa kita bayangkan, apa jadinya seumpama mereka bersikeras mempertahankan tujuh kata itu. Jika hal itu benar-benar terjadi, maka bagian warga bangsa ini akan ada yang tersakiti dan terdiskriminasi. Sekali lagi bahwa sejarah tak akan bisa diulang. Ia hanya meninggalkan jejak-jejak sejarah yang harus kita jadikan pelajaran berharga.
Belajar dari sejarah
Hal ini jelas bertentangan dengan apa yang telah ditetapkan oleh pejuang-pejuang kita khususnya Soekarno di dalam membentuk Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia. Sebagaimana yang dikemukakan oleh beliau di dalam pidatonya terhadap BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) ketika itu.[1]
Sebagai prinsip dari sila pertama dasar Negara Indonesia yang hendak dibangun oleh Soekarno adalah “Kebangsaan”, yang dijelaskan dalam pidatonya sebagai berikut,

“Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan Chauvinisme, sebagaimana yang dikobar-kobarkan oleh orang di Eropa, yangmengatakan; tidak ada yang setinggi Jermania, yang katanya bangsanya minulya, berambut jagung dan bermata biru, “Bangsa Arya”, yang dianggapnya tertinggi di atas dunia, sedang bangsa yang lain tidak ada harganya.
Sebagai manusia yang beragama harusnya memandang Pancasila
Kita harus bangga bahwa kita hidup di negeri ini dengan konsep negara yang arif-bijaksana. Atas dasar Pancasila dengan sila pertama Ketuhanan yang MahaEsa berarti setiap aspek kehidupan manusia Indonesia harus didasari dengan berke-Tuhan-an, berketauhidan.
Dengan memahami dan mengamalkan sila pertama, sebagai warga muslim Indonesia maka harus menomor-satukan Allah swt dalam kehidupan kesehariannya. Bagi yang beragama lain biarlah memahami dan mengamalkan Pancasila itu menurut ketauhidannya masing-masing. Inilah dasar negara yang menyatukan warga-bangsa. Inilah ajaran Islam yang rahmatal-lil’alamin yang mengajarkan lanâ a’mâlunâ wa lakum a’mâlukum, lakum dînukum wa liadîn. Sebuah ajaran yang indah.
Lebih jauh Soekarno sebagai salah satu pendiri bangsa ini mengatakan dihadapan BPUPKI, “Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan Chauvinisme, sebagaimana yang dikobar-kobarkan oleh orang di Eropa, yangmengatakan; tidak ada yang setinggi Jermania, yang katanya bangsanya minulya, berambut jagung dan bermata biru, “Bangsa Arya”, yang dianggapnya tertinggi di atas dunia, sedang bangsa yang lain tidak ada harganya. Jangan kita berdiri di atas asas yang demikian, Tuan-tuan jangan berkata, Bangsa Indonesialah yang terbagus dan termulia, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia”.
Sila kedua dalam Pancasila “Kemanusiaan” mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang berhak mendapatkan keadilan. Sila ke tiga adalah “Mufakat (demokrasi)”. Menurut soekarno inilah wadah yang terbaik memelihara agama

No comments:

Post a Comment