Saturday, September 18, 2010

Apabila Kebodohan Telah Merajalela

حَدَّثَنَا قُتَيْـبَةُ بْنُ سَعِـيْدٍ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ هِـشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِـيْهِ سَمِعْتَ عَبْدَ اللهِ بْنَ عَمْرُوْ بْنِ الْعَاصِ يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ:
إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِـزَاعًا يَنْـتَزِعُهُ مِنَ النَّاسِ، وَلَكِنْ يَقْـبِضُ الْعِلْمَ بِقَـبْضِ الْعُلَمَاءِ حَـتَّى إِذَا لَمْ يَـتْرُكْ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوْسًا جُـهَّالاً فَسُـئِلُواْ فَأَفْـتَوْا بِغَـيْرِ عِلْمٍ فَضَـلُّواْ وَأَضَلُّواْ
Dari sahabat Abdullah bin Amr bin Ash r.hu, ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw bersabda,

“Sesungguhnya, Allah tidak mengambil ilmu dengan mencabutnya dari para hamba, tetapi mengambil ilmu dengan mewafatkan para ulama`. Sehingga, ketika tidak ada lagi ulama, manusia menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin. Meraka ditanya, lantas berfatwa tanpa ilmu, sehingga meraka sesat dan menyesatkan.”

Kedudukan Hadis
Hadis ini shahih. Terdapat dalam Shahih Bukhari, hadis nomor 98, Juz I, halaman 176. Dan, dalam Shahih Muslim, hadis nomor 4828, Juz 13, halaman 160.

Pemahaman Hadis
Yaqbidlu. Artinya, mengambil (mencabut).
Bentuk kata hadis ini adalah fi’il mudhari`. Adapun bentuk madhi-nya, adalah qabadla.
Terminologi (istilahan) kata ini adalah, Allah ta’ala akan mengambil dan mencabut ilmu-Nya dari para ulama yang sudah sampai pada derajat mujtahid dengan cara mewafatkannya satu persatu, sehingga akan tertinggal para ulama pengekor yang hanya dapat mengikuti fatwa yang ada, tanpa tahu dalil hadis dan ijtihad ulama-ulama terdahulu. Nabi saw bersabda,

“Dicabutnya ilmu [agama] itu tidak mesti lantaran dicabutnya al-qur’an. Sebagaimana difahami oleh sebagian orang. Salah seorang dari sahabat Anshar bertanya, “Bagaimana [ilmu agama itu] dicabut? Sedangkan kami membaca al-qur’an, dan kami bacakan al-qur’an kepada anak-anak dan isteri-isteri kami? Maka, Nabi saw menjawab, “Sungguh sebelumnya aku menganggap kamu seorang yang pandai penduduk Madinah. Bukankah Taurat dan Injil ada pada orang-orang Yahudi dan Nashrani? Tetapi, apa manfaatnya bagi mereka?” Maka, semata-mata masih adanya kitab-kitab di perpustakaan-perpustakaan itu tidak menjamin masih adanya ilmu” (Hr.Nasa'i).

Jadi, Allah ta’ala tidak mengambil ilmu dari para manusia begitu saja. Atau, musnahnya buku-buku atau mushaf-mushaf. Tetapi, Dia mewafatkan ulama-Nya satu persatu. Sehingga yang tertinggal dan hidup di dunia, ialah orang-orang atau genarasi yang bodoh [jauh dari ilmu pengetahuan diniah].

Ru`ūsan Juhhālān. Artinya, Orang-orang bodoh dijadikan sebagai pemimpin.
Bersabda Rasulullah saw,

“Apabila kamu melihat orang-orang: Yang tidak berterompah; Tidak berpakaian; Tuli; dan Bisu menjadi para raja di bumi. Maka, itulah tanda-tanda Hari Kiamat” (Hr. Muslim).

Menurut Imam Nawawi r.hu tafsir tentang hadis tersebut ialah, “Tidak berterompah, artinya tidak berjalan di atas jalan Allah swt yang lurus. Tidak berpakaian, artinya tidak punya iman dan akhlak. Tuli dan bisu, artinya tidak mau menerima agama Islam, tidak lagi menjadikan hukum Islam dalam hidup keseharian, tidak mau mendengar dan tidak mau menyampaikan kebenaran agama. Bodoh di sini adalah bodoh tentang perkara agama. Dan, hal demikian sedikit demi sedikit telah tampak pada jaman kita sekarang.”
Jika, pada masa hidup Imam Nawawi r.hu telah tampak dekadensi moral seperti itu. Apalagi di jaman millenium seperti sekarang ini. Yakni, abad XXI. Kehancuran semakin nyata dan telah berada di depan mata. Berbahagia bagi yang selamat, yaitu yang selalu: Menomorsatukan Allah; Jujur; dan Ikhlas (Allah in the numbers united; honest; and sincere). Ini yang alfaqir sebut triangleFORCE.

Faftaū bi-ghairi ilmin. Artinya, mereka berfatwa dengan tanpa ilmu.
Kahlifah Umar bin Khaththab r.hu mengistilahkan mereka dengan sebutan “al-munafiqul-‘alim”. Ketika ditanya maksudnya, beliau menjawab “alīmul lisāni, jāhilul qalbi; pandai berbicara, tetapi bodoh hati --alias tidak memiliki ilmu.” Berbicara panjang lebar, namun tidak didukung dengan pengamalan dalam kehidupan nyata. Mengajak zuhud, namun dia sendiri cinta dunia.
Berfatwa atau berijtihad harus didasari dengan ilmu. Orang berfatwa harus: Luas; Luwes; dan Mendalam ilmunya. Luas penelitiannya terhadap nash-nash syari’ah. Yang luwes terhadap pendapat-pendapat ulama. Yang mendalam penelitiannya terhadap pokok-dasar yang perlu diperhatikan (usul fiqih). Alfaqir mengistilahkan, “Memiliki ilmu yang nyegoro.”

Fadlallū wa adhallū. Artinya, sesat lagi menyesatkan
Karena tidak adanya pengetahuan yang luas tentang ilmu agama. Sehingga fatwanya sesat dan menyesatkan. Rasulullah saw mengistilahkan mereka ulama buruk, dengan sebutan, “Para dai yang berada di tepi pintu-pintu neraka”. Beliau saw memperingatkan kita dari keberadaan mereka dengan sabdanya,

“Dan, sesungguhnya yang aku takutkan atas umatku, ialah para ulama-ulama yang menyesatkan” (Hr.Abu Daud, dari sahabat Tsauban r.hu).

Oase Pencerahan
Hadis di atas telah mengisyaratkan bakal terjadinya sebuah kondisi yang akan dialami oleh umat Islam di akhir jaman. Yang mana pada saat itu kebodohan merajalela, dan masyarakatnya jauh dari ilmu agama. Keputusan mereka tidak diselesaikan dengan dalil dan hujjah, melainkan dengan akal dan nafsu, hukum yang berlaku adalah hukum setan dan sekutu-sekutunya, motifnya adalah syahwat dan panglimanya adalah syubhat dan riba.
Kejahiliahan yang dimaksud tentu saja bukan jahil dalam arti mereka tidak mengetahui amalan dan perintah serta halal dan haram dalam Islam. Boleh jadi saat itu syi’ar-syi’ar Islam nampak marak dan hal-hal yang berbau Islam juga mendomonasi. Perayaan-perayaan keagamaan dan simbol-simbol religius seakan-akan menjadi ciri khas orang Islam saat itu. Secara fisik juga tampak dari munculnya bangunan-bangunan masjid yang megah, tapi hanya sedikit. Bahkan, nyaris tidak ada orang yang memakmurkannya.
Lebih hebat lagi banyaknya tayangan-tayangan TV yang bernuansa Islam, tabloid, dan media cetak, maupun elektronik lain, yang juga berlomba-lomba membawakan pesan-pesan Islam, seperti al-qur’an di dalam HP. Bahkan, boleh jadi musuh-musuh Islam --zionis international dan sekutunya-- juga memberikan dukungan dan akan memberikan bantuan kepada orang Islam untuk kegiatan-kegiatan yang seakan tampak Islami.
Di saat para pengusung simbol-simbol keislaman itu berbangga dengan apa yang telah meraka lakukan, di saat syi’ar-syi’ar Islam tampak marak menghiasi setiap momentum keagamaan. Di situlah mereka mengira, bahwa itulah Islam yang sebenarnya. Islam yang moderat dan meyejukkan. Islam yang penuh toleran dan menebarkan kasih-sayang.
Padahal hakikatnya adalah Islam yang menyejukkan para thaghut dan musuh Islam. Islam yang memberikan keuntungan para pemilik industri perfilman dan bisnis. Islam yang mendapatkan sambutan hangat dan tepuk tangan dari zionis dan orang-orang kafir. Islam yang bisa menampung energi keshalihan dan kemaksiatan. Islam yang lebih memuliakan orang-orang jahat, kafir, dan munafik daripada orang beriman.
Di sinilah letak kejahilihannya. Karena mereka tidak lagi: Menomor-satukan-Allah; Jujur; dan Ikhlas (Segitiga Kekuatan). Mereka tidak lagi: Meng-Allah-kan Allah; Me-manusia-kan manusia; dan Meng-alam-kan alam (Prinsip Trianggulasi). Kehidupan mereka benar-benar berada dalam kejahilan dan kesesatan yang nyata.
Hal inilah yang harus ditakutkan, jangan-jangan kita termasuk orang yang terpengaruh dengan pikiran-pikiran dan Cara Berpikir “orang lain”. Allah ta’ala berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, jika kalian mengikuti sebagian dari orang-orang yang diberi al-Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kalian menjadi orang-orang kafir setelah kalian beriman” (Qs.Ali Imran [3]: 100).

Jadi, kejahilan yang dimaksud dalam hadis Nabi saw tersebut lebih mengarah kepada kejahilan terhadap wajibnya untuk bersikap totalitas dalam: ber-islam; ber-akidah, ber-syari’ah, dan ber-akhlak. Bukan jahil dalam arti tidak bisa baca tulis, atau gagap teknologi (gaptek). Namun kejahilan sesungguhnya adalah ketika mereka menukar tauhid dengan syirik, menukar syari’at yang suci dengan demokrasi liberal yang kotor, menukar wahyu dengan akal yang dangkal, dan menukar keimanan dengan kekafiran. Inilah kejahilan yang sesungguhnya, dan yang disinyalemenkan oleh Rasulullah saw sebagai tanda akhir jaman yang diterangkan dalam sebuah hadis,

“Sesunguhnya akan datang kepada manusia tahun-tahun tipu daya. Di mana pendusta dibenarkan, sedangkan orang jujur didustakan. Pengkhianat dipercaya, sedangkan orang amanat dianggap pengkhianat. Di masa itu ruaibidhah berbicara. Beliau ditanya, “Apakah ruaibidhah itu, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Orang-orang bodoh yang berbicara tentang persoalan orang banyak” (Hr.Ahmad).

Dalam riwayat lain Nabi saw bersabda,

“Di antara tanda-tanda kiamat adalah hilangnya ilmu dan tersebarnya kebodohan.” (Hr.Bukhari, dari sahabat Anas bin Malik r.hu).

Hilangnya ilmu Allah ta’ala telah kita rasakan mulai dari wafatnya para imam mujtahid, dan para ulama`-Nya, serta sedikitnya para pemuda yang menekuni dunia keilmuan keagamaan. Sebagaimana fenomena yang mengejala di negeri kita 20 tahun terakhir ini. Tidak ada orang tua yang menyekolahkan anaknya untuk jadi ulama` ahli tafsir, ahli hadis, ahli hukum waris, dll. Sangat jarang kita temui, bahkan nyaris tidak pernah kita jumpai di negeri ini.
Sebab, mendalami ilmu tersebut tidak menjanjikan uang dan mudahnya mencari pekerjaan. Yang banyak ialah orang tua menyekolahkan anaknya ke luar negeri, dengan harapan pulang mendapat gelar doktor. Walaupun harus dengan “membeli.” Yang ujung-ujungnya kalau punya ijazah tinggi jebolan luar negeri mudah untuk mencari pekerjaan. Ujung-ujungnya untuk mendapatkan kenikmatan dunia dan mencari populeritas.
Maka, jangan heran kalau banyak orang yang bergelar sarjana. Tetapi, hakekatnya tidak berilmu. Karena untuk mencapai gelar kesarjanaan, dia tidak malu melakukan perbuatan menghalalkan segala cara, agar lulus. Itulah fenomena yang kini melanda negara kita tercinta Indonesia. Banyak mahasiswa Indonesia yang harus mengeluarkan banyak uang. Bahkan, ada yang sampai menjual agama murtad hanya karena ingin lulus. Lalu, mendapatkan gelar sarjana dan “kertas sakti” (ijazah).
Kalau itu yang terjadi, bagaimana bangsa kita bisa maju? Kalau kualitas pendidikan nasional dan pendidikan agama masih mengandalkan suap-menyuap, bukan murni dari ilmu yang dimilikinya, bagaimana dapat menjadi manusia Indonesia seutuhnya?
Kalaupun orang hasil pendidikan macam itu menjadi pemimpin atau ulama. Pasti Indonesia tidak tambah maju dan sejahtera, melainkan akan tambah bobrok dan miskin. Inilah nestapa akhir jaman, yang mana orang-orang bodoh dijadikan pemimpin dan didudukkan sebagai ulama [ ]

No comments:

Post a Comment